“Safiyyah, Isteri sang nabi Muhammmad”
Pembukaan,
Gerombolan anti-Islam kerap menyerang nabi Muhammad saw dikarenakan perkawinannya dengan bunda Safiyyah ra. Mereka mengklaim sang Nabi begitu brutal dan jahat dalam perkawinannya dengan bunda Safiyyah ra. Artikel ini bukan sebuah biographi bunda Safiyyah ra. Tapi artikel ini, semata-mata ingin menunjukkan bahwa sama sekali tidak ada kesalahan perihal perkawinan antara nabi saw dan bunda Safiyyah ra. Tujuan artikel ini guna memberikan bukti dan sumber yang Insya Allah berguna bagi para Muslim. Jika Muslim membaca situs anti-Islam yang mengkritik perkawinan nabi Muhammad saw dengan Safiyah ra, maka kalian akan menemukan bahan-bahan yang berguna didalam artikel. Saya telah mengumpulkan informasi dari berbagai sumber yang berbeda dan telah kami kutip secara layak.
Artikel ini terbagi menjadi beberapa seksi:
*Sikap dan perlakuan Safiyyah (ra) terhadap Nabi (saw).
*Karakter Safiyyah.
*Perkawinan sang Nabi dengan Safiyyah dan maknanya
*Sikap dan perlakukan Nabi Muhammad (saw) terhadap Safiyyah (ra)
Sikap dan perlakuan Safiyyah (ra) terhadap Nabi (saw).
Sang Nabi mengakui ketulusan dan kejujuran dari bunda Safiyyah dan sungguh itu adalah pengakuan yang besar di karenakan datang dari pribadi terjujur di muka bumi, yaitu sang Nabi saw. Zayd ibn Aslam berkata, tatkala Rasulullah (saw) sakit dan mendekati ajalnya, isteri-isterinya berkumpul mengelilinginya. Safiyyah binti Huyayyay berkata : “O Rasulullah, alangkah baiknya jika sayalah yang menanggung apa yang tuan tanggung ini!”. Para isteri Rasulullah (saw) yang lain mengerdipkan matanya, mengejek. Rasulullah yang melihat itu menegur, “Hentikan semua itu!”. Mereka bertanya, “Apakah itu, ya Rasulullah?”. “Ejek cemooh kalian! Demi Allah! Safiyyah berkata sejujurnya”. (Ibn Sa’d, Tabaqat, vol.8, p.101, Cited in Muhammad Fathi Mus’ad, The Wives of the Prophet Muhammad: Their Strives and Their Lives, p.175)
Kisah diatas memperlihatkan betapa dalamnya cinta Safiyyah kepada Nabi Muhammad.
Ini adalah momen di mana Rasulullah saw meminta maaf kepada Safiyyah ra, di karenakan ia (saw) telah membunuh ayahnya dan mantan suaminya. Nabi saw menghaturkan maaf dengan berkata, “Ayahmu menghasut dan memerintahkan orang-orang Arab untuk melawanku dan melakukan tindakan-tindakan pengkhianatan, “permohonan maaf yang dalam dari nabi saw itulah kemudian membuat bunda Safiyyah menghilangkan kepahitannya terhadap nabi saw” (Al-Bayhaqi, Dala’il an-Nubuwwah, vol. 4, p. 230, Cited in Muhammad Fathi Mus’ad, The Wives of the Prophet Muhammad: Their Strives and Their Lives, p.166)
Memang benar bunda Safiyyah ra marah kepada nabi saw pada awalnya namun kemudian ia memaafkannya. Dan ini adalah fakta bahwa ia (ra) selalu mengetahui bahwa Muhammad saw adalah seorang Nabi.
Saffiyah (ra) berkata. “Aku adalah anak kesayangan ayah dan pamanku. Di kala Rasulullah (saw) datang ke Madinah dan menetap di Quba, kedua orang tuaku mendatanginya di waktu malam dan di saat mereka melihat sampai gelisah dan capek. Aku mendatangi mereka dengan sangat gembira, tapi sangat mengejutkan mereka tidak berpaling kearah ku. Mereka begitu berduka sehingga tidak sadar dengan kehadiranku. Aku mendengar pamanku, Abu Yasir, berkata kepada ayahku, ‘Apakah benar dia?’ dia berkata, ‘Iya, demi Allah!’. Pamanku berkata: ‘Dapatkah kamu mengenalinya dan memastikannya?’ Ayahku berkata, ‘Iya’. Pamanku berkata, ‘Bagaimana perasaanmu terhadapnya?’ Ayahku berkata, ‘Demi Allah aku akan menjadi musuhnya selama aku hidup.’ (Ibn Hisham, As-Sirah an-Nabawiyyah, vol. 2, pp. 257-258, Cited in Muhammad Fathi Mus’ad, The Wives of the Prophet Muhammad: Their Strives and Their Lives, p.162)
Kisah diatas menggambarkan intelektual dan kesadaran Safiyyah akan nabian Muhammad saw. Dan kisah itu, juga menunjukkan kepada kita bahwa kaum Yahudi telah mengetahui kenabian Muhammad saw, dan mereka juga mengenali nabi seperti mereka mengenal anak-anak mereka sendiri. Namun begitu mereka menyembunyikan perasaan benci dan pahit terhadap Islam dan terhadap nabi saw. Kisah tersebut sebagai tambahan, yang menunjukkan permusuhan besar dan kebencian yang Huyyayy rasakan terhadap nabi saw. Safiyyah tidak mewariskan sifat permusuhan ayahnya, karena Allah telah membuat hatinya siap untuk Islam pula hatinya untuk beriman. (Muhammad Fathi Mus’ad, The Wives of the Prophet Muhammad: Their Strives and Their Lives, p.162-163)
kisah lebih lanjut dari kisah ini adalah….di ambil dari :
Inti dari pembicaraan ini adalah sebagai bukti, bilamana kita mengingat bahwa didalam kitab Taurat Yahudi, tertulis bahwa seorang Nabi akan datang, dan akan memimpin orang-orang yang mengikutinya kepada kemenangan. Benar, sebelum kedatangan Nabi Muhammad (saw) ke Madinah, komunitas Yahudi biasa mengancam penyembah berhala Yastrib, seperti dalam perkataan; ‘kelak seorang Nabi akan datang kepada orang beriman dan akan membasmi kamu, seperti halnya moyang kami membasmi suku-suku lain yang menolak untuk menyembah Allah di waktu lalu’. Seperti halnya nabi Isa (as), yang telah jelas di cirikan di dalam kitab Taurat-tapi ditolak ketika Isa (as) benar-benar datang kepada mereka oleh kebanyakan orang Yahudi-setelahnya dan penutup para Nabi yang telah tepat di gambarkan di dalam Taurat, pula terdapat tanda-tanda yang mana mereka dengan mudah dapat mengenalinya. Karenanya Ka’b al-Ahbar, salah seorang Yahudi yang memeluk Islam saat itu, menghubungkan bahwa Nabi ini di nubuatkan di dalam kitab Taurat…
Untuk mengetahui lebih lanjut perihal Ka’b Al Ahbar silahkan berkunjung ke link ini
Kembali kepada artikel…
Syukur dan terima kasih kepada diskripsi yang termuat di dalam kitab Taurat, bahwa kebanyakan Rabbi yang terpelajar dari komunitas Yahudi, seperti Abdullah ibn Salam, memeluk Islam sewaktu melihat Muhammad (saw) dan pula di karenakan deskripsi ini Huyayy ibn Akhtab dapat mengenalinya (saw). Huyayy, seperti juga kebanyakan komunitas Yahudi lainnya, merasa sangat kecewa bahwa nabi terakhir adalah dari keturunan Ismail (as) bukan dari keturunan Ishak (as), di karenakan komunitas Yahudi disaat itu mengklaim sebagai keturunan eksklusif dari nabi Ishak as, melalui ke dua belas anak-anak dari Yakub (Israil) ibn Ishak (as), darinya nasab ke dua belas suku Israil bermula. Bukan hanya perasaan marah karena harus menerima kenyataan bahwa nabi terakhir berasal dari antara suku-suku Arab, tapi juga Huyayy tidak mau kehilangan kekuasaan dan kepemimpian atas rakyatnya.
Itulah sebab musabab kenapa Huyayy secara rahasia memutuskan untuk melawan dan memerangi nabi Muhammad…
Meskipun Safiyyah adalah anak perempuan Huyayy, namun ia (ra) mempunyai hati yang luhur dan selalu berkenaan untuk memuji Pencipta pula Tuhannya, Yang Ahad yang telah mengutus Musa (as) dan Harun (as), yang darinya ia (ra) bernasab, dan pula mengutus Isa (as), dan utusan terakhir Muhammad (saw), Shalat dan salam Allah semoga berlimpah atas mereka. Oleh karenanya, di saat kesempatan menghampirinya, bunda Safiyyah (ra) tidak hanya mengikuti nabi terakhir Allah SWT, tapi pula kesempatan menjadi isterinyapun di terimanya dengan ikhlas.
Safiyyah (ra) pindah kerumah Nabi (saw). Dia di cintai, di hargai dan di hormati secara tulus dan mendalam hingga membuatnya berkata, “Saya tidak pernah melihat pribadi luhur dan baik, seperti Rasulullah (saw). (Abu Ya’la al-Mawsili, Musnad, vol. 13, p. 38, Cited in Muhammad Fathi Mus’ad, The Wives of the Prophet Muhammad: Their Strives and Their Lives, p.172)
Karakter Safiyyah.
Abd Allah ibn Ubaydah berkata, “Sekelompok orang berkumpul di rumah Safiyyah, isteri Nabi saw. Mereka berzikir, melantunkan al-Qur’an dan bersujud. Safiyyah berkata kepada mereka, ‘Kalian bersujud dan melantunkan al-Qur’an namun di mana tangisanmu (out of fearing Allah)?” (Abu Nu’aym al Asbahani, Hilyat al-Awliya’, vol. 2, p. 55, Cited in Muhammad Fathi Mus’ad, The Wives of the Prophet Muhammad: Their Strives and Their Lives, p.177)
Kisah diatas menunjukkan betapa Safiyyah (ra) seorang Mukmi yang tulus.
Ia (ra) mengalami kesulitan-kesulitan setelah kematian sang Nabi (saw). Satu hari seorang budak wanitanya pergi menemui Amir Al Muminin Umar (ra) dan berkata, “Amir al Muminin! Safiyyah (ra) mengangungkan hari Sabbath dan berkumpul beribadat bersama orang-orang Yahudi!” lalu Umar bertanya kepada Safiyyah (saw) perihal itu dan ia berkata, “Aku tidak lagi mengagungkan hari Sabbath semenjak Allah mengantikan hari Jum’at untuk ku, dan aku berkumpul dengan para Yahudi itu sebatas karena mereka adalah kerabatku.” Lalu dia bertanya kepada budaknya apa yang mempengaruhinya sehingga dia membawa kebohongan ini kepada Umar (ra) dan budak wanita itu menjawab, “Syaiton!” Safiyyah (ra) lalu berkata, “Pegilah, engkau telah bebas!”
Kisah diatas, sebagai bukti bahwa bunda Safiyyah tetap menjadi Muslim yang taat dan setia, sekalipun sang Nabi tidak lagi bersamanya.
Safiyyah memperlihatkan kehangatan dan hubungan yang simpatik didalam rumah tangga sang Nabi. Ia memberikan hadiah permata-permata kepada Fatimah az-Zahra sebagai ekspresi rasa sayangnya kepada Fatimah, pula ia memberikan kepada beberapa isteri Nabi hadiah permata yang ia bawa dari Khaybar. (Ibn Sa’d, Tabaqat, vol.8, p.100, Cited in Muhammad Fathi Mus’ad, The Wives of the Prophet Muhammad: Their Strives and Their Lives, p.172)
Safiyyah adalah hamba yang rendah hati dan Mukmin yang saleh. Mengenai Safiyyah ra ibn Kathir berkata, “Dia adalah salah seorang dari wanita-wanita terbaik dalam menyembah Allah, dalam kesalihannya, dalam tafakurnya, dalam keimanannya dan amalnya. (Ibn Kathir, Al-Bidayah wa an-Nihayah, vol. 8, p. 47, Cited in Muhammad Fathi Mus’ad, The Wives of the Prophet Muhammad: Their Strives and Their Lives, p.177)
Safiyyah (ra) adalah seorang yang amat pemurah pula baik hati. Ia biasa memberikan dan membelanjakan harta yang ia miliki semata-mata demi perjuangan di jalan Allah, bahkan ia pun memberikan rumahnya semasa ia hidup. (Ibn Sa’d, Tabaqat, vol. 8, p. 102, Cited in Muhammad Fathi Mus’ad, The Wives of the Prophet Muhammad: Their Strives and Their Lives, p.178)
Perkawinan sang Nabi dengan Safiyyah dan maknanya
Mengenai tuduhan para gerombolan yang di kenal Islamophobhia, bahwa Safiyyah (ra) di paksa kawin dan dizalimi, tuduhan tersebut sama sekali tidak berdasar. Kita sudah melihat diatas, bahwa Safiyyah (ra) tetap beriman dan setia kepada Rasulullah (saw) sampai wafatnya sang Nabi (saw). (An account of how Safiyyah’s loyalty was affirmed by the Prophet(P) himself is recorded in Muhammad Husayn Haykal, op. cit., p. 374)
Bahkan pada kenyataannya, Nabi Muhammad (saw) menawarkan kepadanya kebebasan, seperti terekam dalam:
Ia (saw) lalu mengatakan kepada Safiyyah (ra) bahwa ia siap untuk membebaskannya, dan memberikan pilihan kepadanya (ra), yakni tetap menjadi Yahudi dan kembali kepada kaumnya, atau memeluk Islam dan menjadi isteri beliau (saw). Safiyyah (ra) berkata; ‘Aku memilih Allah dan RasulNya,’ lantas menikahlah mereka pada (tempat) pemberhentian pertama dalam perjalanan pulang. (Martin Lings, Muhammad: His Life Based On The Earliest Sources (George Allen & Unwin, 1983), p. 269,)
Perkawinan beliau (saw) dengan Safiyyah (ra) juga mempunyai maksud politik, guna mengurangi rasa permusuhan dan memupuk aliansi dengan sekte-sekte Yahudi di sekitar Arab, khususnya Yastrib (Madinah). John L.Esposito mencatat bahwa:
Adalah sebuah kebiasaan politik bagi kepala-kepala tribal (suku) di Arab, banyak dari mereka melakukan perkawinan bersifat politik dengan maksud memupuk aliansi. Sebagian menikah dikarenakan adanya janda dari sahabatnya yang terbunuh dalam perang dan ada pula yang dikarenakan butuh perlindungan. (John L. Esposito, Islam: The Straight Path, pp. 19-20)
Arti penting dari pernikahan Nabi dengan Safiyyah (ra) adalah sebuah penghargaan besar baginya, tak hanya menjaga martabatnya (ra), namun juga mencegahnya untuk tidak dijadikan budak. Haykal mencatatnya:
Sang Nabi memberikan kepadanya kebebasan lalu menikahinya, mengikuti jejak penguasa besar yang menikahi anak wanita atau isteri dari raja-raja yang di taklukannya, sebagian dimaksudkan untuk meringankan penderitaan mereka sebagian untuk menjaga martabat mereka. (Muhammad Husayn Haykal, The Life of Muhammad (North American Trust Publications, 1976), p. 373)
Dengan menikahi Safiyyah (ra), Sang Nabi bertujuan untuk mengakhiri kebencian dan permusuhan orang-orang Yahudi terhadapnya dan terhadap Islam.( See Muhammad M. as-Sawwaf, Zawjat ar-Rasul at-Tahirat wa Hikmat T’adudihinn, pp. 76-79, Cited in Muhammad Fathi Mus’ad, The Wives of the Prophet Muhammad: Their Strives and Their Lives, p.168)
Perlakuan dan sikap sang Nabi terhadap Safiyyah.
Sungguh, di kala Bilal ibn Rabah (ra), seorang sahabat nabi saw, membawa Safiyyah (ra) bersama dengan beberapa wanita Yahudi lainnya ke hadapannya (saw) dengan melewati mayat-mayat orang Yahudi yang telah terbunuh. Muhammad secara pribadi mencaci Bilal dan berkata, “Tidak punya perasaan kah engkau, wahai Bilal, engkau membawa isteri-isteri berjalan melewati mayat suami-suami mereka?” (A. Guillaume (trans.), The Life of Muhammad: A translation of Ibn Ishaq’s Sirat Rasul Allah (Oxford University Press, 1978), p. 515)
Suatu saat, ketika Zaynab binti Jahsh dan Safiyyah pergi bersama Nabi dalam satu perjalanan dan unta Safiyyah jatuh sakit. Nabi berkata kepada Zaynab, “Unta Safiyyah (ra) jatuh sakit, bagaimana jika engkau memberikan kepadanya salah satu dari unta-untamu?” Zaynab berkata, “Tidak akan pernah aku memberikannya kepada wanita Yahudi”. Nabi Muhammad marah kepadanya dan tidak mendekatinya selama dua bulan. (Ahmad, vol. 6, pp. 336-337, Cited in Muhammad Fathi Mus’ad, The Wives of the Prophet Muhammad: Their Strives and Their Lives, p.173)
Setiap kali Safiyyah di cemoohkan karena darah Yahudinya. Sambil mengusap air mata Safiyyah datang mengadu, beliau saw mengajarinya untuk menjawab cemoohan itu, “Bagaimana kalian bisa lebih mulia dari pada saya padahal ayahku adalah Harun (as), sedangkan pamanku adalah Musa (as), dan suamiku adalah Muhammad (saw). (DR.Musthafa Mahmud, Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasalam, Sebuah Upaya Untuk Memahami SEJARAH RASULULLAH, Halaman 74 )
Nabi selalu memperlakukan Safiyyah dengan kesantuan, hormat, cinta kasih dan sayang. Safiyyah berkata, “Rasulullah pergi Haji bersama isteri-isterinya. Dalam perjalanannya unta ku roboh dan mati, di karenakan ia adalah unta terlemah diantara unta-unta yang lain lalu aku menangis. Sang Nabi mendatangi ku dan mengusap air mata ku dengan kain dan tangannya. Semakin ia memintaku untuk tidak menangis semakin menangislah aku. (Ahmad, vol.6, p. 337, Cited in Muhammad Fathi Mus’ad, The Wives of the Prophet Muhammad: Their Strives and Their Lives, p.176).
Shalat dan salam Allah semoga berlimpah atasmu, ya Muhammad!
referensi : Abi Bakar